Beberapa hari ini ada yang mengganjal di hati gue. Pengin banget bisa ngomong unek-unek di dalam dada kepada orang yang bikin gue sakit hati. Semua ini bermula dari pertemuan gue dengan seorang teman. Seperti biasa kami saling bercerita tentang kesibukan kami. Hingga ada di suatu kala gue cerita tentang usaha gue menunggu pengumuman dari suatu perusahaan media massa yang tempo hari gue lamar. Gue memang dari dulu bercita-cita menjadi wartawan. Saat gue ketemu teman itu berarti sudah lewat delapan hari dari pelaksanaan ujian tahap terakhir di perusahaan itu. Gue memang masih berharap dan husnudzon sama Allah agar mengabulkan cita-cita gue kerja di perusahaan itu.
Gue pernah baca tentang anjuran berdoa dalam keadaan yakin akan dikabulkan alias berprasangka baik sama Allah. Gue pun mencoba menerapkan untuk berprasangka baik sama Allah, berpikir positif, dan berusaha membuang jauh-jauh pikiran negatif yang mungkin bisa saja terjadi. Ya, gue memang nggak menganggap remeh kekuatan doa dan kekuatan motivasi positif dari diri sendiri maupun dari orang lain. Menurut gue, setiap usaha yang dilakukan memang harus diimbangi dengan doa dan prasangka baik agar mendapat hasil yang baik juga nantinya.
Gue bolak-balik mengecek email barangkali ada email terselip dari perusahaan itu. Namun, nyatanya nggak ada. Gue pun berusaha menanyakan hasil pengumuman ke perusahaan itu lewat email, tetapi tak ada balasan apapun. Kebetulan gue juga nggak bisa menanyakan ke teman yang sama-sama mendaftar di lowongan itu karena nggak punya satu pun kontak mereka. Meski begitu, gue tetap yakin sama Allah dan berprasangka baik dengan-Nya sambil terus berdoa.
Namun, prasangka baik itu sempat goyah dengan pernyataan teman gue. Intinya dia bilang kalau sudah lewat seminggu dari ujian tahap terakhir di perusahaan, mending move on saja dari perusahaan itu dan mulai cari lowongan di tempat lain. Bodohnya, gue seperti langsung nurut-nurut saja dengan omongannya karena memang gue pikir dia lebih dewasa dan lebih banyak pengalaman. Tapi kok malah gue sendiri yang terhantam sendiri dengan pernyataannya itu. Di jalan pulang gue merasa down banget. Sempat bingung juga mau bikin rencana apa lagi setelah merasa tidak ada harapan di perusahaan yang gue lamar itu, meskipun gue tentunya masih bisa juga fokus ke pekerjaan lama di perusahaan yang sampai sekarang masih gue telateni.
Gue sangat menyayangkan dengan sikap dan saran yang diberi teman gue. Gue pikir dia paham dengan cita-cita gue menjadi wartawan dan bakalan mendukung apapun cita-cita itu. Tapi ternyata tidak, dia seakan sudah mematahkan semangat dan prasangka baik gue kepada Allah. Setelah merenung keesokan harinya, sepertinya gue memang harus pintar-pintar memilih teman supaya nggak terjadi hal ini lagi. Apalagi gue orangnya baperan banget, orang ngomong apapun langsung dimasukkan hati.
Hari-hari berikutnya, gue semakin aktif mengecek email gue. Gue memutuskan untuk mengirim email ke perusahaan itu untuk menanyakan kembali sudah ada pengumuman hasil tes atau belum. Yah, walaupun pada akhirnya tetap nggak dibalas juga. Lalu gue coba tanya ke teman gue apa ada temannya yang bekerja di perusahaan itu. Alhamdulillah, ada! Lalu teman gue menanyakannya pada temannya, dan jawabannya ternyata memang belum ada wartawan baru yang masuk ke perusahaan itu. Ya Allah, syukurlah. Rasanya lega banget.
Setelah kejadian teman yang underestimate ke gue ini, gue jadi berpikir harus bersikap baik ke teman-teman gue dan harus selalu mendukung usaha baik yang tengah mereka upayakan sekaligus mendoakannya agar segera berhasil. Jangan sampai gue malah mematahkan semangatnya, menggoyahkan prinsipnya, dan memupuskan harapannya.
Lalu, apa yang gue akan lakukan setelah ini? Gue bakalan tetap husnudzon kepada Allah dan terus berdoa agar Dia mengabulkan doa-doa gue. Sambil memperbaiki salat-salat fardu dan sunah. Berharap bisa lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah. Gue selalu ingat dengan firman Allah yang ini, “Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat (HR. Bukhari No. 6970 dan Muslim No. 2675).”
Buat teman gue yang satu itu, gue ucapkan terima kasih sudah membuat gue sadar untuk selalu berprasangka baik pada Allah dan berpikir positif meski ada orang lain yang mencoba mematahkannya. Terima kasih sudah membuat gue sadar bahwa hidup gue nggak boleh dikontrol omongan orang lain.
PS: Tulisan kali ini memang agak serius, biar terlihat sudah sedikit dewasa (padahal ya memang masih kek bocah hahah).
Nah ini bu, baperan dan mudah masuk ke hati, aku juga sering gitu. Mulai sekarang kita harus lebih pandai berprasangka baik yaa.. SemangArt bu! 😃
BalasHapusIya bu, susahnya ya jadi manusia baperan :(
HapusLebih susah lagi ditambah laperan bu.
Hapuskrik..krik..
Wah iya sih bu, dan aku juga laperan. Lengkap sudah!
HapusMantuul saay.. Always positive 👍👍
BalasHapusMakasih mba Inuuung 💕
Hapus