Langsung ke konten utama

SEBUAH RAHASIA

Sinar matahari yang hampir kembali ke peraduan terpantul di permukaan kolam yang seluas setengah hektar. Di atasnya ada sekawanan bebek yang sedang memperlihatkan kekompakan mereka. Bercanda tawa satu sama lain, seakan tak ada beban di hidup mereka.

Sedangkan aku hanya bisa duduk dan membisu di kursi tepi kolam. Di bibirku masih tersisa warna bulan kesiangan yang semakin membuatku sulit untuk menggeraknanya. Walaupun lelaki di dekatku, yang menyelamatkan diriku, menyelamatkan nyawaku, bahkan menyelamatkan harga diriku, telah berkali-kali menginterogasiku dengan pertanyaan yang sama, aku tetap diam. Sebenarnya pertanyaan yang dilontarkan lelaki itu sangat mudah kujawab. Namun, setiap kali aku mencoba membuka mulut, air mata yang tak sanggup lagi kubendung ini selalu meleleh, dan saat itu juga dia memelukku dengan erat. Membiarkanku terisak di dadanya. Pelukannya masih sama seperti tadi siang. Masih hangat, lembut, dan membuatku sejenak melupakan apa yang baru saja terjadi.

Di otakku masih terekam dengan jelas kejadian tadi siang. Saat itu aku pulang sekolah dengan mengendarai sepedaku. Tujuan utamaku bukan langsung pulang, tapi aku harus ke toko kue milik Tante Laksmi yang ada di pinggir jalan ibu kota. Sejak ibu mengurangi uang jajanku, aku harus berusaha mencari uang sendiri karena semakin hari semakin banyak keperluan yang harus kupenuhi, dan aku tak bisa setiap hari hanya menengadahkan tangan di depan wajah ibu dan ayahku.

Aku tak menyadari jika aku telah membelok ke gang yang salah. Gang yang selalu membuat warga lain risau karena ulah warga di sekitar gang itu. Semoga saja hari ini aku bisa membuktikan bahwa desas-desus itu tak benar.

Tak ada seorang pun yang berada di luar rumah saat itu kecuali sekelompok lelaki bajingan yang sedang berkumpul di sebuah pos ronda. Awalnya, aku biasa saja dengan semua ini. Namun, ketika aku mendekat, mereka mulai beranjak dari tempat duduk. Berhamburan bak serigala siap menerkam mangsanya. Salah satu dari mereka mendorongku hingga aku terjatuh. Aku sangat ketakutan. Alih-alih menyelamatkan sepeda, aku mulai berlari saja langsung dikejar oleh mereka. Aku masuk ke sebuah gang. Di kanan kirinya terdapat pabrik yang sudah tak digunakan lagi. Sebelum para serigala itu membelok ke gang, aku sudah masuk di dalam pabrik. Aku mengintip sebentar. Mereka berlari terus tanpa memeriksa pabrik-pabrik ini.

Setelah beberapa lama menunggu, aku keluar dari persembunyianku berharap bisa melarikan diri dari kejaran serigala berandal itu. Namun, tanpa kusadari 3 preman telah menungguku di luar pabrik. Mata mereka berkilat-kilat saat menatapku. Aku benar-benar akan menjadi mangsa mereka saat itu. Aku berlari ke dalam pabrik. Tapi, mereka lebih cepat dari pada aku. Dengan mudah mereka meraih tanganku dan menyeretku kembali masuk dalam pabrik, seketika aku langsung meronta-ronta. Aku tak mau menyerah begitu saja kepada mereka. Aku tak mau menyerahkan diriku pada mereka. Aku tak mau hidupku berakhir hanya karena para bajingan ini. Saat aku kembali meronta, salah satu dari mereka menampar mukaku hingga aku terjatuh. Aku sangat ketakutan saat mereka kembali mendekatiku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Apakah ini memang akhir hidupku?

“Tuhan, selamatkan aku!” jeritku di dalam hati.

Aku hanya bisa memejamkan mata saat jarak mereka tinggal sejengkal denganku.

“Lepaskan gadis itu!” teriak seorang lelaki yang datang dari arah pintu masuk.

Preman-preman berandal itu hanya saling memandang.

“Kalian tak tuli, kan? Lepaskan gadis itu!” lanjut lelaki itu.

“Apa kau bilang? Tuli?” bantah preman yang paling jangkung. “Siapa kau ini?” lanjutnya.

“Tak penting kau tahu siapa aku. Lepaskan saja gadis itu!” kata lelaki itu lagi.

“Kalau kami tak mau melepaskan gadis ini?” tanya preman yang memakai kaos berwarna merah.

“Maka kalian akan celaka!” kata lelaki itu sambil mendekati preman-preman.

Sesaat terjadi aksi saling pukul. Walaupun jumlah preman lebih banyak, mereka tak bisa menghindari kekalahan karena lelaki itu sangat pintar berkelahi. Preman-preman itu tergesa-gesa keluar dari dalam pabrik.

“Kau tak apa-apa?” tanya lelaki itu ramah sambil mendekat kepadaku.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Semua air mata bercucuran dan masih tersirat sebuah ketakutan di wajahku.

“Namaku Jimmy,” kata lelaki yang kira-kira hanya sepuluh tahun lebih tua dariku itu.

Aku hanya bisa menatapnya. Tubuhku masih gemetar dan napasku juga masih terengah-engah. Melihat keadaanku, Jimmy mendekap tubuhku. Di dekat telingaku dia berbisik,

“Sekarang kau tenang saja. Kau sudah aman bersamaku. Jangan takut denganku, aku bukan orang jahat, kok.”

Jimmy melepaskan pelukannya. Dia menungguku untuk mengucapkan sesuatu. Tapi aku tetap tak berucap apapun. Di sudut-sudut bibirnya muncul sebuah senyuman yang sangat manis. Namun aku tak bisa membalasnya.

“Kita harus cepat-cepat pergi dari tempat ini, sebelum mereka datang lagi,” kata Jimmy sambil menarik tanganku untuk berdiri.

Aku hanya bisa berdiri beberapa saat kemudian terjatuh lagi. Badanku lemas, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dengan mudah Jimmy mengangkat tubuhku dan mendudukkanku di atas motornya. Dia cepat-cepat mengendarai motornya karena di ujung jalan preman-preman berandal itu sudah mulai berlari mendekat.

Jimmy membawaku di taman, di tempat aku berada saat ini, dan sampai saat ini aku masih terisak di pelukannya. Aku tak tahu kenapa begitu nyaman berada di dekatnya. Perlahan dia melepaskan pelukannya. Rasanya sudah lama sekali aku terisak di dadanya, sampai-sampai bubur kacang polong yang dibelikan Jimmy untukku telah mendingin. Dia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mengusap air mataku. Aku heran, kenapa aku tak merasakan takut sedikit pun kepada Jimmy padahal aku baru bertemu dengannya tadi siang.

“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Jimmy yang mungkin sudah ke seratus kalinya. “Aku akan mengantarmu pulang sekarang.”

Jimmy menuntunku sampai di tempat dimana dia meninggalkan motornya. Aku masih diam saja saat dia sudah naik di motornya.

“Kau masih sanggup untuk naik di atas motor ini, kan?” tanya Jimmy sambil tertawa. “Haruskah aku yang menaikkanmu di atas motor?”

Segera saja aku naik di atas motor Jimmy. Semoga saja sampai di rumah nanti ibuku tak berkata macam-macam melihatku dengan keadaan yang seperti ini.

Tanpa aku beri tahu dimana alamat rumahku, dengan mudah Jimmy telah sampai di depan rumah. Aku semakin heran dengannya. Ketika ibuku membukakan pintu, terlihat sekali wajahnya yang sangat kaget saat melihatku, dan dia lebih kaget lagi saat melihat Jimmy.

“J..Jim..Jimmy, kaukah itu, Nak?” tanya ibuku.

“Iya, Bu. Ini Jimmy,” jawab Jimmy.

“Jimmy, sudah lama sekali kau tak pernah pulang. Kemana saja kau?”

“Maafkan aku, Bu. Maafkan kesalahan yang selama ini aku perbuat,” kata Jimmy terisak sambil mencium kaki ibu.

“Ibu sudah memaafkanmu sejak dulu, Nak. Kau tak perlu melakukan ini. Ayo berdiri,” ucap ibu sambil menarik tangan Jimmy.

Aku tak mengerti dengan semua ini. Apakah Jimmy itu saudara kandungku? Tapi kenapa ibu selalu berkata bahwa aku ini anak tunggal? Jadi selama ini aku hanya dibohongi? Aku benci dengan semua ini. Aku berlari ke kamarku dan menutup pintu dengan sangat keras serta menguncinya. Aku masih mendengar suara Jimmy dan ibu mengetuk pintu kamarku, dan setelah itu aku sudah terlelap dalam tidurku.

Aku bangun ketika tengah malam. Aku sudah tak bisa tidur lagi. Sudah tak ada lagi suara ibu, ayah, ataupun Jimmy. Mungkin mereka sudah tertidur. Pelan-pelan kubuka pintu kamar. Kulihat Jimmy tertidur di sofa, di ruang keluarga. Aku menuju teras rumah dan duduk di sana. Memandangi bintang-bintang dan kembali membiarkan ingatan-ingatan peristiwa yang terjadi tadi sore muncul kembali di otakku. Aku masih heran, kenapa ibu ataupun ayah tak pernah menceritakan bila aku memiliki seorang kakak? Padahal dari dulu aku menginginkan seorang kakak. Pasti semua ini ada sebabnya. Tapi apa?

Aku masih saja belum beralih pada topik lain. Aku tak bisa begitu saja menerima Jimmy sebagai kakakku. Tiba-tiba dari arah belakang ada seseorang yang menepuk pundakku. Itu Jimmy.

“Kenapa malam-malam begini kau berada di sini?” tanya Jimmy lembut.

Aku hanya diam.

“Kenapa kau selalu diam ketika aku menanyaimu? Padahal sudah 14 tahun aku tak mendengar suaramu,” kata Jimmy masih tetap ramah walaupun aku terlihat menghiraukannya. “Pasti kau masih bingung siapa sebenarnya aku ini, iya kan?”

Aku masih diam saja.

“Kau benar-benar tak mau bicara denganku?”

“Kenapa ibu selalu merahasiakan kalau aku memiliki seorang kakak?” tanyaku pada Jimmy untuk pertama kalinya.

“Mungkin, dia tidak ingin kau mengetahui kalau aku bukanlah kakak yang baik. Ibu memang tak mau membiarkanmu memiliki seorang kakak yang berandal, susah diatur, dan tak bertanggung jawab ini,” kata Jimmy. “Dulu, saat aku berumur 12 tahun, aku adalah anak yang sangat nakal dan susah diatur. Hingga pada hari akhirnya ayah dan ibu benar-benar marah padaku dan mengusirku. Lalu aku pergi ke rumah teman ayah dan dia membawaku pergi ke Samarinda”

“Hanya karena itu? Kenapa kalian tak pernah memberitahuku rahasia ini?” tanyaku masih kurang puas. Air mataku mulai meleleh.

“Maafkan aku, Elma. Mulai sekarang aku akan menjadi kakak yang terbaik untukmu, dan tidak ada lagi rahasia di antara kita. Maafkan aku,” kata Jimmy memohon.

Aku diam saja.

“Elma, aku paling tidak tega melihat gadis yang menangis,” kata Jimmy. “Kumohon maafkan aku.”

Aku tetap diam. Air mataku mulai mengalir deras. Jimmy menarik lenganku dan sekali lagi mendekapku. Walaupun keadaan kali ini sudah tak genting lagi, tetapi pelukannya masih tetap dan akan selalu sama seperti pelukan sebelumnya.

Tuhan, terima kasih Kau telah mempertemukanku dengan kakak yang telah menjadi penyelamatku ini. Terima kasih Tuhan.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I'm Back Guys

Halo semuanya. Sudah lama ya gue nggak menulis di blog. Kapan ya terakhir? Kayaknya pas gue masih D3. FYI setelah gue lulus D3, gue lanjut kuliah lagi di jurusan S1 Ilmu Komunikasi (dan sudah wisuda kemarin Desember). Masih di Solo juga kok kuliahnya. Dulu gue nggak aktif menulis di blog karena ada beberapa hal. Yang pertama, semenjak gue kuliah di S1, gue udah lengser jadi reporter radio komunitas FiestA FM (itu bukan typo, memang tulisannya pakai huruf A kapital). Saat masih menjadi reporter, gue merasa terdorong untuk menulis karena memang tuntutan tugas. Tapi menulis blognya berpindah ke blog/web radio, bukan blog pribadi ini. Hahaha. Terlengsernya gue dari reporter membuat gue beralih sibuk menulis materi kuliah atau tugas. Alih-alih bisa menulis blog, mengerjakan tugas saja masih kurang-kurang waktu. Yang kedua karena gue mulai punya teman-teman baru dan hobi main. Sepanjang kuliah S1 kemarin, gue tinggal di kost terus, nggak seperti saat D3 yang sempat menumpang

SUPITAN ITU ADALAH...

Gue pengen cerita di sini. Tapi ini cerita pribadi gue. Entah menarik atau enggak. Yang jelas butuh ekstra Kamehame dan dorongan awan Kinton untuk mengungkapkan cerita ini. Tapi karena hasrat dalam setiap nadi gue terus bergejolak, gue mau deh berbagi cerita sama kalian. Simak yaaa… Bentar deh yik. Kalo gak menarik, ngapain juga nge- share cerita disini? | Eh lo ngapain ngatur-ngatur gue? Ini blog punya siapa? | Punya lo.. | Yang bayar modem pulsa buat nge- share tulisan di sini siapa? | Elo juga... --" | Yaudah!! Terserah gue dong mau tulis apa di sini! Sompret lo! | -_____- Oke, gue mulai ya. Pelajaran yang paling gue suka selama duduk di bangku SMA adalah pelajaran bahasa. Entah itu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jawa, bahasa hewan, bahasa lelembut, atau bahasa tubuh…  Pokoknya gue suka semua bahasa. Minggu yang lalu Pak Tulus, guru pelajaran bahasa Jawa, memberi tugas pada murid-muridnya untuk browsing di internet tentang upacara-upacara adat di

Akibat Lagu

Aku baru aja nemuin lagu yang baguuus banget buat ngemanjain kuping. Lagu ini aku denger untuk kedua kalinya saat ada acara peringatan Hari Kartini di sekolahku. Saat itu ada band dari alumni yang ikut memeriahkan acara ini. Salah satunya adalah band punyanya Kak Levi (sumpah orangnya keren banget). Dia nyanyiin lagu yang juga keren banget. Dan kuakui suranya Kak Levi tu merdu gilak! Terus gaya-gayanya di atas panggung itu loh, cool abis deh, juara! ^^v   Nah, sejak saat itu aku coba cari informasi tentang lagu yang dia dinyanyiin. Temenku udah ngasih tau vokalis dan judul lagunya, tapi aku lupa terus buat download lagu itu (Payah!). Dan akhirnya, setelah bertahun-tahun mencari (timpuk mukaku), bisa juga ngedapetin lagu ini dari komputer tempat aku les. Hahaha. Vokalis dan judul lagunya adalah . . . . . . . . . . Jeng jeng jeng Vanessa Carlton dengan A Thousand Miles Huaaaaa, setiap ndengerin lagu ini pasti inget mukanya Kak Levi yang bling-bling itu :* Nih aku kasih lirik d