Gue pengen cerita di sini. Tapi ini cerita pribadi gue. Entah menarik
atau enggak. Yang jelas butuh ekstra Kamehame
dan dorongan awan Kinton untuk
mengungkapkan cerita ini. Tapi karena hasrat dalam setiap nadi gue terus
bergejolak, gue mau deh berbagi cerita sama kalian. Simak yaaa…
Oke, gue mulai ya. Pelajaran yang paling gue suka selama duduk di bangku SMA adalah
pelajaran bahasa. Entah itu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jawa,
bahasa hewan, bahasa lelembut, atau bahasa tubuh… Pokoknya gue suka semua bahasa.
Bentar deh yik. Kalo gak menarik, ngapain juga nge-share cerita
disini? | Eh lo ngapain ngatur-ngatur gue? Ini blog punya siapa? |
Punya lo.. | Yang bayar modem pulsa buat nge-share tulisan di sini
siapa? | Elo juga... --" | Yaudah!! Terserah gue dong mau tulis apa
di sini! Sompret lo! | -_____-
Minggu yang lalu Pak Tulus, guru pelajaran bahasa Jawa, memberi tugas
pada murid-muridnya untuk browsing di
internet tentang upacara-upacara adat di Yogyakarta dan Jawa serta membuatnya
dalam bentuk makalah. Contohnya seperti upacara pernikahan, upacara siraman,
upacara melahirkan anak, upacara tedhak siten (pertama kali balita bisa
berjalan), dan lain-lain. Dan yang lebih membuat tugas ini serasa enteng banget,
Pak Tulus memperbolehkan membuat makalah menggunakan bahasa Indonesia. Gak
perlu susah-susah menerjemahkan dalam bahasa Jawa karena sebenarnya gue agak
susah juga menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar walaupun saban hari gue
ngomong dengan bahasa ini. Ini nih yang parah, orang Jawa yang lama-kelamaan
akan kehilangan budayanya gara-gara tidak dijaga dan dilestarikan.
Hari ini adalah hari Sabtu. Pelajaran jam kelima dan keenam adalah bahasa
Jawa. Gue sudah ngeprint makalah upacara adat yang diperintahkan pak guru.
Makalah gue hanya berbentuk dua lembar kertas HVS A4. Itu pun tulisannya hanya satu setengah halaman. Gue pikir sih itu sudah
cukup untuk memenuhi tugas bahasa Jawa hari ini. Tapi ketika gue melihat
makalah teman-teman gue yang kira-kira jumlahnya lima belas sampai dua puluh
halaman, gue mulai lemes. Ini pada buat makalah atau buat laporan karya ilmiah
sih? Atau gue saja yang terlalu malas mengetik makalah ini? Biarin deh yang
penting gue sudah berusaha membuatnya. Masalah ditolak atau enggak sama Pak
Tulus, itu urusan belakangan.
Nah, gue kira makalah itu langsung dikumpulkan tanpa dibahas lagi
materinya. Eh ternyata malah disuruh presentasi satu-satu. Gue langsung
menyembunyikan kertas makalah ke laci, lalu pasang muka polos berharap Pak
Tulus tidak menunjuk gue.
Lega banget rasanya mengetahui yang ditunjuk Pak Tulus untuk presentasi
adalah Nindya. Tapi karena makalahnya panjang banget, gue jadi malas
mendengarkannya. Sampai akhir presentasi pun gue masih plongah-plongoh karena gak ngerti apa yang Nindya bicarakan.
Waktu masih banyak tersisa saat Nindya mengakhiri presentasinya dan Pak
Tulus kembali menunjuk muridnya untuk presentasi. Tiba-tiba salah satu teman
gue nyeletuk.
“Sari aja, Pak. Dia udah buat makalahnya kok,” kata Icis yang tadi tidak
sengaja melihat makalah gue.
“Iya iya, Sari aja, dia udah siap,” kata Bina ikut-ikutan.
Kamprett! Teman macam apa kalian. Ini namanya buaya makan merpati! Apa
hubungannya? Entahlah. Dengan malas-malasan gue berjalan ke depan kelas sambil
membawa makalah. Ketika gue akan memulai membaca, gue baru sadar ternyata gue
mengambil materi tentang upacara SUPITAN alias khitanan alias sunatan. Lebih
parahnya lagi ternyata gue menulis tentang pengertian supitan di bagian awal
makalah. Gue lemas. Sebenarnya makalah gue ini biasa saja. Dan kalau membacanya
dengan mata kepala sendiri pasti akan berpikir itu bukanlah hal yang ngeres.
Tapi berhubung gue berhadapan dengan orang-orang yang sedang berada dalam tahap
pubertas dan mereka sangat antusias bila mendengar cerita-cerita yang nyrempet
hal porno, gue jadi ragu bisa menyelesaikan presentasi —yang mungkin bisa disebut
dengan presentasi EKSEKUSI yang paling absurd—ini.
Dan presentasi tetap harus berjalan. Gue pasrah!
“Supitan adalah upacara khitanan, atau biasa disebut sunat. Supitan ini
adalah upacara pengeratan kulit…” Belum selesai gue menyelesaikan kalimat,
teman-teman sudah mulai memenuhi ruangan kelas dengan tawa lebarnya. Tuh kan
belum apa-apa saja mereka sudah heboh. Gimana gue nglanjutin presentasinya kalo
kaya gini.
“Iya, supitan adalah upacara khitanan atau biasa disebut sunat. Ini
adalah upacara pengeratan kulit…”
“Hahahahahaaa…” Tawa teman-teman semakin keras.
Ini gimana coba? Sebenarnya masih pada niat dengerin presentasi gue gak
sih? Gue menatap teman-teman tajam. Berisyarat menyuruh mereka diam.
Gue melanjutkan. Kali ini lebih serius.
“Supitan bisa juga disebut sunat. Ini adalah proses pengeratan…” Gue
berhenti membaca makalah. Kali ini bukan karena tawa teman-teman. Gue berusaha
melanjutkan lagi.
“Supitan adalah pengeratan kulit… ummm......kuliiiit…errr…umm…” Begitu
selanjutnya sampai kiamat. Gue baru sadar ternyata lanjutan kalimat itu
benar-benar gak layak dibaca di depan umum. Tapi karena gue pengen berusaha
menjadi presentator yang baik, gue masih gencar berusaha.
“...supitan ituuu pengeratan kulit...kul...ummm ku...”
Kampret!! Kenapa ngomong ‘Pengeratan kulit TITIT’ aja jadi susah banget
sih.
“Pak, saya gak kuat...” Kata gue pada Pak Tulus.
“Gak kuat apanya, Mbak?” Tanya Pak Tulus polos.
Otomatis teman-teman semakin keras tertawa. Gue lemes seperti habis
dengerin pidato Kepala Sekolah yang lama banget saat upacara hari Senin. Gue
ngerasa jadi orang yang sangat awam tentang hal porno di kelas ini.
Gue sangat berharap seseorang mau menjadi pahlawan bagi gue saat itu.
Membantu gue menghadapi kemaluan yang sudah tak terkira ini. Dan pahlawan itu
adalah Pak Tulus sendiri. Dia mau membantu gue membacakan makalah. Ajaib!
Ketika Pak Tulus membacakan makalah gue, gak ada satupun teman-teman gue yang
tertawa. Mungkin karena Pak Tulus memperhalus kata-kata yang ada di makalah gue
sehingga teman-teman tidak berpikiran negatif lagi. Penderitaan gue belum
berakhir di sini. Setelah Pak Tulus selesai membaca makalah, gue harus menjawab
semua pertanyaan teman-teman yang berhubungan dengan presentasi. Yang paling
membuat gue kesal adalah pertanyaan dari Icis.
“Sebenarnya hasil suanatan yang bagus itu kaya apa sih?” Tanya Icis penuh
kepolosan.
Sekampret-kampretnya teman, dialah yang paling kampret. Gini ya kalo gue
ini cowok, gue udah mempersilakan dia untuk ngeliat anu gue yang sempurna. Tapi
sayangnya gue cewek loh ya. Gue ulangi lagi, GUE CEWEK!!!! Liat aja punya bokap
looo!!!!
Sabar.
Dan gelak tawa teman-teman pun memenuhi atmosfer kelas yang siang itu
terasa sangat panas.
Memang, kadang hal porno menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuk
dibicarakan. Orang-orang bisa tertawa lepas di tengah perbincangan hal ini. Dan
lama-lama hal ini akan menjadi sangat umum atau tidak tabu lagi. Tentunya itu
hanya bagi sebagian orang. Dan sebagian orang lagi termasuk gue tak pernah peduli
dengan hal itu.
Mengenai hal-hal yang porno itu, gue belum mau memikirkan. Bukan berarti
gue mempunyai kelainan karena tidak memiliki nafsu untuk mengetahui hal yang
menurut gue sangat luar biasa itu. Gue merasa belum cukup dewasa saja untuk
mengetahui hal senonoh itu. Gue yakin lama-lama bila waktu sudah mengajak gue
untuk lebih dewasa, gue pasti akan sangat mengerti dengan hal-hal berbau porno
dengan memperlakukannya bukan sebagai lelucon. (Kamis, 26 Januari 2012)
Lucu gak ceritanya? Lucu kan? Ayo dong bilang lucu... Kalo bilang gak
lucu gue cubit nih. *pake gunting rumput* :p
Makasih deh yang udah bilang cerita ini lucu.
*cipok semua pembaca* *pake setrika panas*
Salam manis,
Katy Perry
Mhuahahahahaha...
---------------------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar
Jangan jadi Silent Readers ya. Tinggalkan comment di sini.. :)